
Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Pertanyaan:
1. Apabila seorang muslim ingin menikah, bagaimana syariat
mengatur cara mengenal seorang muslimah sementara pacaran terlarang
dalam Islam?
2. Bagaimana hukum berkunjung ke rumah akhwat (wanita) yang hendak
dinikahi dengan tujuan untuk saling mengenal karakter dan sifat
masing-masing?
3. Bagaimana hukum seorang ikhwan (lelaki) mengungkapkan perasaannya (sayang atau cinta) kepada akhwat (wanita) calon istrinya?
Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari:
بِسْمِ اللهِ، الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ
Benar sekali pernyataan anda bahwa
pacaran adalah haram dalam Islam.
Pacaran adalah budaya dan peradaban jahiliah yang dilestarikan oleh
orang-orang kafir negeri Barat dan lainnya, kemudian diikuti oleh
sebagian umat Islam (kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala), dengan dalih mengikuti perkembangan jaman dan
sebagai cara untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Syariat Islam
yang agung ini datang dari Rabb semesta alam Yang Maha Mengetahui dan
Maha Bijaksana, dengan tujuan untuk membimbing manusia meraih
maslahat-maslahat kehidupan dan menjauhkan mereka dari mafsadah-mafsadah
yang akan merusak dan menghancurkan kehidupan mereka sendiri.
Ikhtilath (campur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram),
pergaulan bebas, dan pacaran adalah fitnah (cobaan) dan mafsadah bagi
umat manusia secara umum, dan umat Islam secara khusus, maka perkara
tersebut tidak bisa ditolerir. Bukankah kehancuran Bani Israil –bangsa
yang terlaknat– berawal dari fitnah (godaan) wanita? Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
لُعِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ عَلَى لِسَانِ
دَاوُدَ وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا
يَعْتَدُوْنَ. كَانُوا لاَ يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوْهُ
لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُوْنَ
“Telah terlaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui
lisan Nabi Dawud dan Nabi ‘Isa bin Maryam. Hal itu dikarenakan mereka
bermaksiat dan melampaui batas. Adalah mereka tidak saling melarang dari
kemungkaran yang mereka lakukan. Sangatlah jelek apa yang mereka
lakukan.” (Al-Ma`idah: 79-78)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ
فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا
النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي
النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah memesona), dan Allah
Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kalian sebagai khalifah (penghuni) di
atasnya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerhatikan amalan kalian.
Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita, karena
sesungguhnya awal fitnah (kehancuran) Bani Israil dari kaum wanita.”
(HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan umatnya untuk berhati-hati dari fitnah wanita, dengan sabda beliau:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلىَ الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya
terhadap kaum lelaki dari fitnah (godaan) wanita.” (Muttafaqun ‘alaih,
dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)
Maka, pacaran berarti menjerumuskan diri dalam fitnah yang menghancurkan
dan menghinakan, padahal semestinya setiap orang memelihara dan
menjauhkan diri darinya.
Hal itu karena dalam pacaran terdapat berbagai kemungkaran dan pelanggaran syariat sebagai berikut:
1. Ikhtilath,
yaitu bercampur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram.
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhkan umatnya dari
ikhtilath, sekalipun dalam pelaksanaan shalat. Kaum wanita yang hadir
pada shalat berjamaah di Masjid Nabawi ditempatkan di bagian belakang
masjid. Dan seusai shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdiam sejenak, tidak bergeser dari tempatnya agar kaum lelaki tetap di
tempat dan tidak beranjak meninggalkan masjid, untuk memberi kesempatan
jamaah wanita meninggalkan masjid terlebih dahulu sehingga tidak
berpapasan dengan jamaah lelaki. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ummu
Salamah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Al-Bukhari. Begitu pula pada
hari Ied, kaum wanita disunnahkan untuk keluar ke mushalla (tanah
lapang) menghadiri shalat Ied, namun mereka ditempatkan di mushalla
bagian belakang, jauh dari shaf kaum lelaki. Sehingga ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam usai menyampaikan khutbah, beliau perlu
mendatangi shaf mereka untuk memberikan khutbah khusus karena mereka
tidak mendengar khutbah tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Jabir
radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim.
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرِهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf lelaki adalah shaf terdepan dan sejelek-jeleknya
adalah shaf terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf terakhir,
dan sejelek-jeleknya adalah shaf terdepan.” (HR. Muslim dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal itu dikarenakan
dekatnya shaf terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga
merupakan shaf terjelek, dan jauhnya shaf terakhir wanita dari shaf
terdepan lelaki sehingga merupakan shaf terbaik. Apabila pada ibadah
shalat yang disyariatkan secara berjamaah, maka bagaimana kiranya jika
di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam keadaan dan suasana
ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang
berhubungan dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu
terjadi di luar ibadah? Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam
begitu cepatnya mengikuti peredaran darah . Bukankah sangat ditakutkan
terjadinya fitnah dan kerusakan besar karenanya?” (Lihat Fatawa
An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 45)
Subhanallah. Padahal wanita para shahabat keluar menghadiri shalat dalam
keadaan berhijab syar’i dengan menutup seluruh tubuhnya –karena seluruh
tubuh wanita adalah aurat– sesuai perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam surat Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31, tanpa melakukan
tabarruj karena Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang mereka melakukan hal
itu dalam surat Al-Ahzab ayat 33, juga tanpa memakai wewangian
berdasarkan larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadits Abu
Hurairah yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya
:
وَلْيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ
“Hendaklah mereka keluar tanpa memakai wewangian.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang siapa saja dari
mereka yang berbau harum karena terkena bakhur untuk untuk hadir shalat
berjamaah sebagaimana dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 53:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ
“Dan jika kalian (para shahabat) meminta suatu hajat (kebutuhan)
kepada mereka (istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
maka mintalah dari balik hijab. Hal itu lebih bersih (suci) bagi kalbu
kalian dan kalbu mereka.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka berinteraksi sesuai
tuntutan hajat dari balik hijab dan tidak boleh masuk menemui mereka
secara langsung. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Maka tidak
dibenarkan seseorang mengatakan bahwa lebih bersih dan lebih suci bagi
para shahabat dan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sedangkan bagi generasi-generasi setelahnya tidaklah demikian. Tidak
diragukan lagi bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lebih
butuh terhadap hijab dibandingkan para shahabat, karena perbedaan yang
sangat jauh antara mereka dalam hal kekuatan iman dan ilmu. Juga karena
persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para
shahabat, baik lelaki maupun wanita, termasuk istri-istri Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bahwa mereka adalah generasi
terbaik setelah para nabi dan rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam
Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pula, dalil-dalil
Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan berlakunya suatu hukum secara umum
meliputi seluruh umat dan tidak boleh mengkhususkannya untuk pihak
tertentu saja tanpa dalil.” (Lihat Fatawa An-Nazhar, hal. 11-10)
Pada saat yang sama, ikhtilath itu sendiri menjadi sebab yang
menjerumuskan mereka untuk berpacaran, sebagaimana fakta yang kita
saksikan berupa akibat ikhtilath yang terjadi di sekolah,
instansi-instansi pemerintah dan swasta, atau tempat-tempat yang
lainnya. Wa ilallahil musytaka (Dan hanya kepada Allah kita mengadu)
2. Khalwat, yaitu berduaannya lelaki dan wanita tanpa mahram. Padahal Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلىَ النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hatilah kalian dari masuk menemui wanita.” Seorang lelaki dari
kalangan Anshar berkata: “Bagaimana pendapatmu dengan kerabat suami? ”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka adalah
kebinasaan.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Jangan sekali-kali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita,
kecuali bersama mahram.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma)
Hal itu karena tidaklah terjadi khalwat kecuali setan bersama keduanya
sebagai pihak ketiga, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah
radhiyallahu ‘anhuma:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ
بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا
الشَّيْطَانُ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan
sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai
mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya.” (HR. Ahmad)
3. Berbagai bentuk perzinaan anggota tubuh yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
كُتِبَ عَلىَ ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ
مَحَالَةَ: الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا
اْلاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهُ
الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهُ الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى
وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia
akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga
zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan
zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu
berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau
mendustakan.”
Hadits ini menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal untuk
dipandang meskipun tanpa syahwat adalah zina mata . Mendengar ucapan
wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati adalah zina telinga.
Berbicara dengan wanita (selain istrinya) dalam bentuk menikmati atau
menggoda dan merayunya adalah zina lisan. Menyentuh wanita yang tidak
dihalalkan untuk disentuh baik dengan memegang atau yang lainnya adalah
zina tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau
menuju tempat perzinaan adalah zina kaki. Sementara kalbu berkeinginan
dan mengangan-angankan wanita yang memikatnya, maka itulah zina kalbu.
Kemudian boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan melakukan perzinaan
yang berarti kemaluannya telah membenarkan; atau dia selamat dari zina
kemaluan yang berarti kemaluannya telah mendustakan. (Lihat Syarh
Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, pada syarah hadits
no. 16 22)
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً
“Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan nista dan sejelek-jelek jalan.” (Al-Isra`: 32)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حِدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk
dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang
tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi dari Ma’qil bin
Yasar radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam
Ash-Shahihah no. 226)
Meskipun sentuhan itu hanya sebatas berjabat tangan maka tetap tidak boleh. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ
“Tidak. Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh tangan wanita (selain
mahramnya), melainkan beliau membai’at mereka dengan ucapan (tanpa jabat
tangan).” (HR. Muslim)
Demikian pula dengan pandangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam surat An-Nur ayat 31-30:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا
فُرُوْجَهُمْ – إِلَى قَوْلِهِ تَعَلَى – وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ
…
“Katakan (wahai Nabi) kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menjaga
pandangan serta kemaluan mereka (dari halhal yang diharamkan) –hingga
firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum mukminat, hendaklah mereka
menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari hal-hal yang
diharamkan)….”
Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرِ الْفَجْأَةِ؟ فَقَالَ: اصْرِفْ بَصَرَكَ
“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja)? Maka beliau bersabda:
‘Palingkan pandanganmu’.”
Adapun suara dan ucapan wanita, pada asalnya bukanlah aurat yang
terlarang. Namun tidak boleh bagi seorang wanita bersuara dan berbicara
lebih dari tuntutan hajat (kebutuhan), dan tidak boleh melembutkan
suara. Demikian juga dengan isi pembicaraan, tidak boleh berupa
perkara-perkara yang membangkitkan syahwat dan mengundang fitnah. Karena
bila demikian maka suara dan ucapannya menjadi aurat dan fitnah yang
terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا
“Maka janganlah kalian (para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam) berbicara dengan suara yang lembut, sehingga lelaki yang
memiliki penyakit dalam kalbunya menjadi tergoda dan ucapkanlah
perkataan yang ma’ruf (baik).” (Al-Ahzab: 32)
Adalah para wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan di sekitar beliau hadir para shahabatnya, lalu wanita itu
berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan
kepentingannya dan para shahabat ikut mendengarkan. Tapi mereka tidak
berbicara lebih dari tuntutan hajat dan tanpa melembutkan suara.
Dengan demikian jelaslah bahwa pacaran bukanlah alternatif yang ditolerir dalam Islam untuk mencari dan memilih pasangan hidup.
Menjadi
jelas pula bahwa tidak boleh mengungkapkan perasaan sayang atau cinta
kepada calon istri selama belum resmi menjadi istri. Baik
ungkapan itu secara langsung atau lewat telepon, ataupun melalui surat.
Karena saling mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adalah hubungan
asmara yang mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah.
Demikian pula halnya berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yang
ingin dilamar dan bergaul dengannya dalam rangka saling mengenal
karakter dan sifat masing-masing, karena perbuatan seperti ini juga
mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Wallahul
musta’an (Allah-lah tempat meminta pertolongan).
Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita
yang hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang
bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang
biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang
dibutuhkan untuk diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan
cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan
seseorang seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai
keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun
harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam
kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang
dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian
pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal
lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais ketika
dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta
nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau
bersabda:
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا
مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan
tongkatnya dari pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin
yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR.
Muslim)
Para ulama juga menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan
calon istri yang dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan
tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu
Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (130-129/5 cetakan Darul Atsar)
berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon istri yang dilamar wajib
dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat atau tanpa disertai
dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya
haram, karena setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.”
Perkara ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan hal-hal
yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah
dengan melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar.
Nazhor memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang
membutuhkan pembahasan khusus .
Wallahu a’lam.
SUMBER :
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=425